HEMBUSAN ANGIN


ELFI HUSNIAWATI

Prologue
Sebuah kecelakaan pesawat menewaskan beberapa penumpang dan awaknya. Beberapa diantaranya ditemukan dengan selamat, namun ada pula yang kini harus menjalani perawatan intensif dan menghadapi masa-masa kritis. Beberapa bahkan ada yang mengalami koma berbulan-bulan setelah kejadian naas itu.
*

Hujan tetap saja enggan untuk pergi.  Sesekali angin kencang menerpa dedaunan dan  menggoyahkan payung-payung  pada kepalan tangan. Orang-orang berlalu lalang sembari melihat kearah jarum jam tangan mereka. Tentu saja tak ada hal yang lebih menderita di ibu kota ini selain jam pulang kerja, macet, dan hujan. Tampak wajah-wajah lelah dari dalam kaca. Wajah-wajah putus asa, bosan akan rutinitas kehidupan, dan  enggan untuk tetap diam dan tenang. Di ujung jalan   tampak seorang berkemeja lengkap dengan dasi di kerahnya, lengan  bajunya digulung sampai ke siku dan kemudian membanting kap mobil dengan kerasnya. Tak ada orang yang memerhatikannya. Di seberang jalan, orang-orang mulai berdatangan di sebuah halte. Entah sekadar berteduh atau memang menantikan kedatangan bus yang akan mengantar  mereka kembali.
Klakson-klakson tetap berbunyi nyaring dari ratusan mobil. Motor-motor dengan santainya melekukan tubuhnya di antara celah yang ada. Seorang polisi di tengah perempatan jalan tetap saja meniupkan peluitnya dengan keras, bahkan wajahnya sudah kemerah-merahan di tengah hujan ini. Sungguh pemandangan yang harus setiap hari kulihat.
 Aku melanjutkan melihat tontonan yang ada di televisi. Ketiak banjir bandang datang setiap musim penghujan, ketika sungai telah berwarna hitam, ketika hutan telah di bakar, ketika satwa telah disingkirkan dari rumahnya, dan ketika semua hanya menyisakan beton yang menjulang tinggi menjadi penghalang sang sinar matahari. Sungguh dunia ini tiada lagi indah.
Adzan maghrib mulai terdengar dari masjid di blok sebelah. Orang-orang tetap saja bergelimangan di jalan. Angin sudah mulai berhenti, menyisakan dedaunan yang jatuh. Sebentar lagi jalanan akan mulai lenggang, dan malam senantiasa akan datang. Dia pun akan segera datang bersama sang malam. Aku akan tetap menantinya, meski dia tak juga kembali. Dialah Angin.
*

Menurutmu apa yang dapat dilakukan oleh orang buta? Ya benar, tidak ada. Tidak ada satupun hal yang dapat dilakukan oleh orang buta dengan benar. Hanya menjadi beban dan merepotkan. Belum lagi perkataan orang-orang yang menyudutkan, menjadi hakim atas apa ketetapan Tuhan, mencela segala hal yang tak biasa bagi mereka, sungguh mereka idiot. Dan sungguh sialnya, aku harus hidup dengan orang-orang seperti itu. Itulah alasanku lebih suka mengurung diri, bukan karena aku tersisihkan atau terabaikan, tetapi karena aku memilih jalanku sendiri untuk mengurung.

Suatu pagi yang tak biasa, ibu mengetuk pintu kamarku dan kemudian duduk di sebelahku. Sosok ibu yang tak pernah kutahu seperti apa wajahnya. Ibu memberiku sebuah paket, dia bilang paket itu ditunjuukan untukku namun tidak ada nama pengirimnya di paket itu. Ibu perlahan membukakan paket itu untukku dan kemudian meletakkan isi dari paket itu ke tanganku. Sebuah botol dengan tutup kayu.
“Ada surat di dalamnya.” Kata ibu lirih.
“Maukah ibu membacanya untukku. Barangkali saja ada nama pengirimnya di surat itu.”
“Tentu saja sayang.” Ibu tersenyum, aku tahu dari suaranya.

            Aku adalah Angin yang telah berkelana dalam berbagai dunia. Aku akan berbagi cerita hanya jika kau mengijinkannya. Terimalah aku dan akan ku perlihatkan kepadamu betapa indahnya dunia.

Salamku,
Hembusan Angin.



“Hembusan Angin, nama yang indah. Apakah ibu mengenalnya?”
“Ibu tak mengenalnya nak, justru ibu yan ingin bertanya demikian kepadamu.”
“Ibu tahu kan aku tak pernah memiliki seorang temanpun?”
Ibu diam, dan kemudian membelai rambutku  dan mencium keningku.
“Mungkin dia akan menjadi teman pertamamu nak.” Ibu meletakan botol itu ke tanganku lagi dan beranjak pergi dari kamarku.

*
            Aku beranjak tidur, berulang kali kupejamkan mata dan membukanya lagi berharap aku akan menemukan perbedaan dan tidak selamanya gelap. Hembusan Angin, aku tetap memikirkan nama itu. Nama yang tak pernah ku dengar sebelumnya, nama yang begitu bagus ketika ku ucapkan dan ku dengarkan. Mungkin memang aku harus menerimanya sebagai seorang teman, entah teman seperti apa dia, aku tak ada bayangan. Aku menerimamu Hembusan Angin.

            Malam teruslah berjalan dengan kegelapan dan sedikit cahaya bulan. Tiba-tiba aku merasakan ada angin yang berhembus di sekitarku, tercium pula aroma wangi tanah dan bunga kering, ini seperti bau sebuah perjalanan. Bau itu semakin tajam, kini aku bahkan seperti merasakan berada pada sebuah padang dengan rimbunan batang ilalang. Aku seperti merasakan bunga-bungan lembut tertiup angin dan menyentuh tanganku, meninggalkan bau wangi dihidungku dan membuatku merasa ringan tanpa beban. Apakah ini mimpi? Tidak, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apakah ini kau Hembusan Angin?

“ Iya, inilah aku Hembusan Angin. Aku datang karena kau telah menerimaku sebagai teman. Kini aku akan menepati kesepakatan kita.”
“Kesepakatan apa?” Tanyaku sedikit kebingungan.
“Kau menerimaku dan akan kuceritakan kau tentang dunia ini. Tentang tempat-tempat indah yang pernah ku kunjungi. Aku tahu pasti membosankan hidup dengan lampu yang selalu padam kan?”
“Tapi bagimana kau bisa ada di sini?”
“Sangat mudah bagiku, aku adalah Hembusan Angin tiada celah yang tak dapat ku masuki. Bayangkan saja aku seperti apa yang kau suka. Tak perlu takut kepadaku, aku sekarang adalah temanmu dan teman harus saling menjaga dan melindungi, membuat saling bahagia serta tak akan saling mengecewakan.”
“Tapi tadi itu bau apa? Apakah itu bau pegunungan, atau perjalanan atau bahkan petualanagan?”
“Tepat sekali. Itu adalah bau puncak Mahameru. Apakah kau suka dengan wangi edelweiss kering itu? Baunya begitu wangi setelah bunga itu kering. Ini untukkmu, sebagai tanda persahabatan kita agar selalu abadi seperti edelweiss ini.”
“Terima kasih Angin.”
“Baiklah, aku akan pergi dulu. Kau harus segera tidur, besok malam aku akan kembali dan mulai menceritkanamu tentang betapa indahnya dunia ini. Kau bisa memegang ucapanku. Selamat malam. Dan satu hal lagi, ini aadalah rahasia di antara kita berdua.”
Angin telah pergi, namun dia telah berjanji kepadaku akan kembali dengan kisah-kisahnya.

Aku memang terlahir tanpa bisa melihat dunia, namun lebih dari itu, aku masih bisa mendengar dunia, merasakan dunia, dan melihat dunia lebih dalam dengan hatiku. Aku beruntung, aku tidak perlu melihat apa yang orang tidak ingin lihat.
Malam berikutnya telah datang, begitu pula Angin yang menepati janjinya untuk datang. Kali ini aku mencium bau yang wangi, seperti bau cengkeh dan beberapa rempah-rempah,suasana menjadi lebih hangat, entah kenapa suasana ini membuatku merasa sangat nyaman.
“Aku kembali. Baiklah aku akan segera menceritakanmu tentang perjalananku. Dengarkan baik-baik ya. Aku yakin kau akan menyukainya.”Angin mulai menuturkan ceritanya.
            Aku baru saja pergi ke sebuah pulau yang begitu indah. Gugusan pulau yang dikelilingi lautan berwarna biru muda. Kau bisa melihat dasar laut itu, karena air di sana begitu jernih. Dan kau harus tahu, ikan-ikan di sana berwarna-warni, tak hanya sekedar tujuh warnah pelangi. Tempat itu sangat jauh dari keramaian, kau akan menemukan kedamaian di sana. Lihat pula orang-orangya, mereka sangat baik meskipun sedikit terlihat garang. Mereka akan menyambut kedatanganmu dengan tarian dan wewangian. Mereka hidup dengan rempah-rempah. Tempat itu sangat terkenal dan tersohor sampai Eropa dengan namanya spicy island. Apa kau tahu di mana itu?
“Aku tidak tahu Angin,apakah itu masih di negeri ini pula?”
“Tentu saja, itu masih di Indonesia.”
“Jadi masih ada tempat seperti itu di Indonesia ini?”
“Itu baru permulaan. Aku akan membawakan Indonesia ke dalam genggaman tanganmu. Bersabarlah, aku akan selalu kembali untukmu.”
“Terima kasih. Aku akan mengingat itu.”

            Dialah Angin, satu-satunya teman dan seseorang yang   baru ku kenal namun dia telah membawa dunia pada genggaman tanganku. Angin menceritakanku tentang betapa Indonesia ini begitu indah. Tak pernah sekalipun dia menceritakanku tentang sebuah bencana atau keburukan-keburukan negeri ini. Dia meyakinkanku, bahwa suatu hari kelak aku akan bisa melihat sesuatu yang indah itu.

***
Pada suatu malam.
“Angin itukah dirimu”
“Tentu saja. Sepertinya kini kau telah hafal dengan keberadaanku.”
“Begitu aku mencium bau yang begitu wangi dan merasakan hembusan halus sang angin aku dapat memastikan bahwa kau telah datang. Kali ini kau akan bercerita apa lagi Angin?” tanyaku dengan riang.
“Sepertinya kau sudah tidak sabar.  Baiklah aku akan memulainya, dengarkan baik-baik.”
            Hari ini aku baru saja tiba dari sebuah tempat yang jauh di ujung  barat sana. Sebuah wilayah yang masih asri dengan pegunungan, hutan, dan perkebunan yang hijau. Itu adalah sebuha pulau yang besar, bahkan sangat-sangat besar. Kau bisa menemukan apapun di sana. Perjalananku di mulai dengan menyebrangi sebuh lautan dengan sebuah gunung menjulang di tengahnya. Gunung itu masih tetap kokoh berdiri, meski letusan berulang kali telah meruntuhkan tubuhnya sendiri. Selanjutnya aku sampai pada sebuah tanah yang disekelilingya tertanam pohon-pohon sawit, begitu tertata tetapi tidak indah. Namun di balik itu semua, aku melihat kawanan gajah berkumpul, mereka begitu indah meski sangatlah besar. Kau harus lihat betapa besarnya rasa cinta diantara mereka. Ibu yang begitu menyayani anaknya dan sang ayah yang terus mengawasi dan menjaga keselamatan anaknya. Bukankah luar biasa, meskipun mereka hanya seekor hewan namun cintanya begitu besar.
            Aku terus berjalan, menemukan pemukiman yang begitu indah. Rumah-rumah itu begitu unik, besar dan penuh dengan ornamen-ornamen alam yang diukir dalam setiap daun pintu, jendela dan dinding luar ruamh itu. Mereka menyebutnya rumah gadang. Kau pasti sudah tau di mana aku kan? Iya benar, aku berada di tanah Minang.  Di tanah ini pula aku menemukan tebing-tebing kapur yang masih hijau dengan sungai mengalir dibawahnya. Kau akan terkejut jika telah mengunjungi tempat ini, aku bahkan menginap di sebuah rumah dengan gunung di belakangnya dan danau tepat di depannya. Sungguh luar biasa lagi ketika malam datang dan  kunang-kunang akan bersinar.
“Aku masih memiliki banyak cerita lagi di tanah ini, apakah kau mau mendengarkannya lebih dalam?”
“Tentu saja Angin, aku tak akan pernah bosan dengan cerita-ceritamu. Kau sungguh luar biasa dalam bercerita.”
“Baiklah, kalau begitu dengarkan.”

            Perjalanan ini masihlah sangat panjang. Ketika aku terbang bersama burung-burung di angkasa yang tiada batasnya, bersama bunga-bunga dandelion yang begitu lembut menari dengan bebasnya. Kau tahu, di tempat ini sangatlah banyak danau-danau dengan warnanya yang  berbeda, bahkan diantaranya dapat berubah warna. Mereka seperti zamrud di pagi hari dan berubah menjadi ruby ketika senja telah menyapa.
            Ku lanjutkan ke barat menuju matahari terbenam, ketika nyanyian malam mulai berkumandang. Suara rebana dan nada tinggi dari orang-orang adat menyanyikan lagu daerah dengan bahasa yang terdengar asing di telingaku, namun tetap saja begitu indah. Malam di tempat ini begitu menawan, bintang-bintang di langit bersinar dengan kilau berpendar, dan suara ombak yang menghantam karang terdengar begitu menggelegar selayaknya suara Tuhan. Malam telah berlalu dengan kesendirianya, surya di ujung timur telah menampakkan kilau emasnya. Begitu indah. Aku berjanji akan membawamu ke sana.
            Sekarang coba bayangkan di dalam pikiranmu, bayangkan kau bisa menari-nari dibawah hujan gerimis, kau bisa berlari di padang rumput yang begitu luas dan kau bisa melompat ke sungai dengan air yang begitu segar. Rasakan betapa segarnya air itu menyapamu, rasakan lebih dalam dan bayangkan kau sendirian berada di tempat itu, taka ada seorangpun yang mengganggumu. Bukankah begitu damai? Ya, itulah tempat yang telah  aku kunjungi, di tanah Andalas.
“Sepertinya aku telah banyak bercerita. Angin harus kembali berhembus. Meski malam orang-orang tetap membutuhkanku, aku akan pergi menuju lautan. Nantikan aku di malam berikutnya.”
“Terima kasih Angin, aku akan tetap menanti kembalimu.”

Beberpapa malam telah berlalu tanpa kedatangan angin. Namun aku yakin dia akan datang karena ceritanya belumlah selesai. Aku bisa merasakan keberadaanya, dia telah datang.
“Aku akan bercerita untukmu, kali ini aku berkunjung ke pulau tempat kita berada saat ini.”
“Apakah pulau ini juga begitu menawan seperti tempat-tempat yang pernah kau ceritakan?”
“Tentu. Itulah mengapa kau tinggal di tempat ini. Jika tidak menawan untuk apa orang tuamu tinggal di sini.”
“Hmm, baiklah. Silakan mulai Angin.”

            Inilah pualu Jawa, aku terlahir di pulau yang tak terlalu besar ini. Aku telah berkunjung menyusurii dari anyer sampai panarukan, dan telah menjumpai betapa menawannya keindahan tempat  ini. Perjalananku dimulai dari ujung barat pulau ini menaiki kereta menuju sebuah wilayah kecil di selatan. Dari Bandung aku menuju Yogyakarta. Kau harus coba naik kereta, dan kau akan merasakan berjalan menembus pegunungan. Pohon-pohon masih begitu hijau dan pegunungan menjadi pemandangan di sepanjang rel kereta ini. Kau bahkan bisa melihat danau-danau di Jawa Barat dan burung bangau yang kini telah mulai langka.
            Lalu aku telah tiba di Yogkarta, meskipun ini kota namun semuanya tampak sangatlah terjaga. Di tempat ini kau akan bisa melihat masa lalu dari negeri ini. Semuanya masih ada untuk dikenang. Kemudian kau harus pula menyaksikan indahnya pantai selatan. Pasir putih dan lautan biru. Kau bahkan tak perlu berkunjung ke Bahama untuk menyaksikan keindahan yang luar biasa ini. Kemudian ku lanjutkan perjalananku menuju timur ketika malam telah datang, aku menemukan begitu banyak lampu berpendar di tempat yang dingin ini. Begitu banyak lampion warna-warni, aku yakin kau akan menyukainya. Ditempat ini pula kau bisa memakan apel sepuasmu. Kau hanya perlu jalan ke kebun dan memetiknya langsung dari pohonnya. Bukankah menyenangkan?
“apakah tempat seprti itu benar-benar ada di pulau ini, Angin?”
“Sudah pasti. Makanya kau harus segera melihatnya.”
“Aku sudah tidak sabar, aku sungguh ingin.”
“Aku akan mewujudkan keinginanmu, bersabarlah.”
            Angin menjabat tanganku, dan kemudian pergi dengan meninggalakan sebuah apel di tanganku. Aku memakan apel itu, dan sungguh ini begitu manis. Aku belum pernah merasakan hal semanis ini. Terima kasih Angin, sekali lagi terima kasih.

*
            Pagi telah datang ketika aku masih saja terlelap, aku mendengar ibu mamnggil namaku dan mengetuk pintu kamarku, dia duduk di sebelah kananku kemudian memelukku. Dia kemudian mengajakku berbicara, aku meraba pipinya, aku merasakan air mata telah membasahi pipinya. Tapi aku juga merasakan kebahagiaan, bibirnya tersenyum.
“Sebentar lagi kamu akan bisa melihat nak. Kita mendapatkan pendonor.”
“Benarkah itu ibu, apakah itu artinya aku akan bisa melihat?”
“Tentu nak, tentu saja.”
Kami berpelukan, dan menangis haru karena semua ini. Aku sudah tidak sabar mengabarkan kepada Angin bahwa aku akan bisa melihat apa yang selama ini telah ia ceritakan. Aku sudah tidak sabar memberitahu Angin Kabar gembira ini. Angin, cepatlah kau datang.
Malam telah datang, aku tetap menanti kedatangan Angin. Aku yakin dia akan datang seperti malam-malam yang telah lalu. Tapi ini sudah terlalu larut, dan  Angin belum juga tiba. Aku tak bisa merasakan hembusan dan baunya yang wangi. Kenapa angin belum juga datang. Angin. Angin. Angin.
*

            Angin tak pernah lagi datang menemuiku. Entah kemana saat ini dia berada, dia tak pernah lagi datang bahka sekadar menyapa. Jika suatu hari nanti angin akan datang, aku hanya ingin mengabarkan kebahagiaan ini, kabar bahwa aku telah bisa melihat dunia. Aku bisa melihat Ibuku, aku bisa melihat rumahku, dan aku bisa melihat apa yang tidak ingin ku lihat. Aku membutuhkanmu Angin. Aku membutuhkanmu bercerita kembali tentang keindahan dunia ini.
            Kau tahau Angin, aku sedikit kecewa dengan ceritamu. Kau bilang dunia ini begitu indah, kau bilang bahwa Indonesia begitu luar biasa, namun ketika aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri, semuanya nampak berbeda. Aku tak pernah membayangkan bahwa sungai di kota ini berwarna begitu hitam, tiada tanah lapang untukku berlari bebas, dan tak ada hutan yang memberiku aroma kesegaran. Rasanya kedamaianku telah  hilang, hilang bersamamu Angin.
Ku mohon Angin, kembalilah untukku satu menit saja, meski itu berarti aku akan kehilang dirimu untuk selamanya.

***


Epilog
            Hembusan Angin telah terbang untuk selamanya. Kini tiada batasan lagi untukknya. Dia telah terbang bersama malaikat-malaikat setelah sebelumnya hanya mampu terbang bersama merpati dan dandelion. Kini dia bebas setelah beberapa bulan tubuhnya terbaring tak berjiwa di atas ranjang rumah sakit. Angin telah bebas, Angin telah pergi tanpa sepatah katapun terucap.        



  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Beginning : One Ok Rock dan Larc-en-Ciel

Pesona Gunung Panggung