AMDAL RAWAN KECURANGAN, RAKYAT MENJADI KORBAN
Terletak di bawah
lereng Gunung Merapi, Sleman menjadi primadona baru investasi hotel dan
apartemen. Namun pemerintah setepat belum memiliki aturan jelas perihal pembangunan apartemen. Lantas, apakah rakyat
harus dikorbankan demi Pendapatan Asli Daerah yang ditargetkan?
Kamis (19/11), beberapa petani berkulit
legam sedang menanam pagi di sawahnya. Waktu baru menunjukkan pukul 10.00 pagi
tetapi terik matahari sudah menjadi-jadi. Sementara itu, bangunan apartemen Student Castle, berdiri megah di salah
satu sudut persawahan itu. Hal itulah yang kini
terjadi di daerah Seturan, di mana persawahan mulai berganti wajah menjadi
apartemen.
Bertambahnya populasi penduduk,
memerlukan penanganan yang serius dari pemerintah terutama dalam aspek
pembangunan Dona Saputra Ginting, Kepala
Sub Bidang Penataan Ruang Pertanahan dan Perumahan Sleman mengungkapkan tentang
konsep pembangunan di Sleman. Pusat
pemukiman akan dipusatkan di tengah, yang meliputi Kecamatan Depok dan Gamping.
Namun apabila terjadi pemusatan pemukiman dan pembangunan, akan muncul berbagai
masalah dan salah satunya adalah ketersediaan air bersih.
Pada tahun 2014, Badan Lingkungan Hidup (BLH) DIY telah mengeluarkan data sumber pencemar. Dari data tersebut diketahui
bahwa beberapa hotel yang berdiri di Sleman telah melakukan pencemaran terhadap
lingkungan, terutama air sungai. Terdapat 94 hotel yang melakukan pencemaran,
dan 9 diantaranya merupakan hotel berbintang 4 dan 5.
Selain pencemaran air,
ketersediaan air tanah juga menjadi permasalahan. Selama ini proses pembangunan
apartemen menggunakan sumber air tanah. Akibatnya, air tanah yang selama ini hanya digunakan oleh warga, harus
dibagi pula dengankebutuhan hotel dan apartemen. Hal inilah yang kemudian berdampak langsung terhadap masyarakat, di
mana air yang selama ini mereka gunakan berkurang.
Doni Eka Prakasa, Dosen Geologi UGM mengungkapkan bahwa rata-rata telah terjadi penurunan muka air tanah di DIY
setinggi 31 cm. Menurutnya, penurunan muka air tanah memang
tidak dapat terhindarkan. Walaupun
begitu, Doni menjelaskan bahwa kehadiran
hotel dan apartemen di Yogyakarta memang mempercepat penurunan muka air tanah. Namun konsumsi untuk rumah tangga sendiri masih jauh lebih besar “Kebutuhan
masyarakat terhadap air juga meningkat. Baik untuk konsumsi rumah tangga,
maupun usaha-usaha seperti cuci mobil dan laundry”.
Kasus yang belum lama meyeruak adalah
kasus warga Miliran dengan Hotel Fave di mana sumur warga Miliran yang bermukim
di sekitar hotel Fave asat. Sebagai
anggota komisi AMDAL Provinsi,
Doni membenarkan bahwa penggunaan air oleh hotel Fave menyebabkan penurunan
muka air tanah di daerah Miliran. “Dampak utamanya pada jarak 50 meter, dan
yang paling jauh pada radius 300 meter. Hal ini dikarenakan Fave meletakan pipa saring untuk
mengambil air pada kedalaman 50 meter, padahal mereka mengebor sampai kedalaman
80 meter,” imbuh Doni.
Doni menambahkan, seharusnya
konsumsi air bersih dari hotel dan apartemen harus dicukupi oleh Pemerintah,melalui
PDAM. Namun PDAM sendiri belum mampu mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat. “Apabila PDAM sebagai perusahaan besar
mampu memberikan air bersih dalam jumlah yang tak terbatas, maka tidak akan ada
masalah pertumbuhan hotel maupun
apartemen di Yogyakarta. Jika infrastruktur sudah ada dan berjalan dengan baik,
maka konflik perebutan air tanah antara warga dengan pihak hotel dan apartemen
dapat terhindarkan,” tutur Doni saat ditemui di kantornya, Senin (16/11).
Amdal adalah kewajiban. Sampai saat ini, Sleman belum memiliki
Komisi Amdal. Sleman saat ini baru memiliki Badan Lingkungan Hidup (BLH) yang
melakukan pengawasan terhadap pembangunan dan dampaknya terhadap lingkungan
yang ada di Sleman. BLH sendiri terhitung masih belum lama berdiri. Didirikan 1
Januari 2014, dan saat ini bertugas sebagai badan pemberi rekomendasi dan
pengawasan terhadap pembangunan dan dampaknya terhadap lingkungan.
Sasikirana, staf BLH Sleman
mengungkapkan bahwa adanya hunian vertikal di Sleman memang perlu, “Siap tidak siap memang harus,”lanjutnya. Hal tersebut berkaitan dengan populasi penduduk yang
terus bertambah. Namun dalam proses
pembangunan hotel dan apartemen muncul beberapa permasalahan. Sasikirana memberikan
contoh apartemen Uttara di Jalan Kaliurang. “Pada awalnya
apartemen Uttara hanya melakukan UKL/UPL, namun saat dilakukan pengawasan oleh
BLH Sleman diketahui pihak pengelola melakukan penambahan jumlah lantai.” Padahal sesuai peraturan AMDAL bangunan yang memiliki luas 10.000m2
diwajibkan untuk menyusun AMDAL.
Permasalahan kedua, tidak
dilibatkanya masyarakat terdampak terhadap proses perizinan dan pendirian
apartemen. Agustinus Prastowo Pandu
Satrio yang lebih akrab disapa Pandu memaparkan bahwa ketidakterlibatan warga
dalam pembangunan apartemen terjadi di
Gadingan, Sinduharjo. Di Gadingan Ketua RT dan RW dicomot dari jabatannya. Hal tersebut dikarenakan masyarakat dari
elemen terbawah merasa tidak pernah melakukan persetujuan pembangunan
apartemen.” Ketika mengonfirmasi ke
pihak desa, Pandu menerima jawaban bahwa kepala desa telah melakukan sesuai
prosedur perundang-undangan.
Hal inilah yang kemudian
memunculkan berbagai gerakan masyarakat menolak apartemen dan hotel. Dalam Peraturan
Bupati Sleman Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengembangan Perumahan, pelaksanaan
pengawasan pembangunan hotel dan
apartemen diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen. Namun faktanya kerap kali masyarakat justru mendapatkan
intimidasi dari pihak pengelola hotel dan apartemen.Seperti yang terjadi kepada
masyarakat Gadingan, Sinduharjo. Adanya pemalsuan tanda tangan persetujuan
pembangunan apartemen, pencopotan spanduk-spanduk penolakan pembangunan
apartemen,serta pembakaran sebuah warung di kawasan tersebut.
Pandu yang juga merupakanwarga Gadingan,
Sinduharjo menolak adanya pembangunan apartemen di Sleman. “Bila alasan yang digunakan adalah untuk mengatasi
permasalahan populasi penduduk lebih baik dibangun rumah susun saja, di mana
masyarakat kecil mampu membeli.” Pandu yang ditemui selepas acara screening dan
diskusi film Belakang Hotel di Universitas Sanata Dharma menambahkan bahwa pembangunan apartemen
sebagai indikasi bahwa pemerintah ingin mendapatkan pajak dan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang besar.
Sebagai akademisi dan anggota
Komisi AMDAL DIY, Doni memberikan pendapat, bahwa solusi untuk pembangunan di
Yogyakarta dan Sleman ini adalah pembangunan yang berkelanjutan. “Pembangunan apartemen seharusnya menyebar, dan bukan
justru terpusat di tempat yang sudah padat,” tutupnya
Komentar
Posting Komentar