TIDAK HANYA SEBUAH TANYA
Apakah harus menggunakan embel-embel religi
agar kami bisa diterima oleh masyarakat yang ngaku-ngakunya sudah religious? Atau jangan-jangan
mereka juga ngaku-ngaku religius agar diterima oleh orang yang sudah duluan ngaku-ngaku religius?
*
Berabad-abad
yang lalu kita pernah mendengar tentang cerita dan sebuah nama, Joan the Arch. Seorang
perempuan berperang di garis depan untuk kejayaan seorang raja. Joan merupakan
perempuan yang telah banyak memenangkan pertempuran melawan berbagai pasukan. Namun
sayang, Joan tidak bisa menang melawan para kaum agamawan dan pendeta gereja
yang saat itu menuduhnya sebagai seorang penyihir. Joan mati dengan
mengenaskan, di sebuah tanah lapan di pusat kota, dibakar oleh gereja atas tuduhan sebagai seorang penyihir
berbahaya.
Beranjak dari
masa lalu, menuju sebuah masa yang kita sebut masa kini. Sebuah poster
pementasan teater yang diselenggarakan oleh mahasiswa mendapat kecaman dari
kalangan masyarakat dengan tuduhan dukungan terhadap legalisasi LGBT. Poster tersebut memang menampilkan sosok dua
orang perempuan, lantas apakah itu berarti mereka adalah pasangan lesbi? Sepertinya
itulah yang ditangkap oleh masyarakat dengan tafsir mereka sendiri. Masyarakat menghakimi
atas apa yang mereka lihat, bukan atas apa yang sebenarnya terjadi.
Jika kembali menurut pada cerita pementasan tersebut,
sebenarnya sama sekali tidak ada unsur yang berkaitan dengan dukungan terhadap
legalisasi LGBT. Dan bila pementasan
tersebut memang berkaitan dengan LGBT
apakah hal tersebut merupakan sebuah
kesalahan? Saya rasa jika pementasan tersebut mengangkat tema mengenai
penentangan terhadap LGBT pasti masyarakat akan senang dan bertepuk tangan
sambil menerikan nama Tuhan mereka. Namun
berbeda lagi bila isinya merupakan
dukungan, penggerebekan oleh forum agama akan terulang untuk kedua kalinya di
kampus yang sama.
Sebuah pementasan
teater dengan setting Kampus Biru
merupakan adaptasi dan tafsir ulang terhadap novel karya Ashadi Siregar yang
berjudul Cintaku di Kampus Biru. Dari novel tersebut dapat di dilihat bahwa
tidak ada hal berbau LGBT yang yang diangkat oleh Ashadi. Dalam pementasan yang
sekiranya akan dipentaskan tersebut, memang
tokoh Anton diperankan oleh perempuan. Tetapi bukankah dalam berkesenian
itu merupakan hal yang biasa. Bahkan jika melihat berbagai pementasan ada
sosok lelaki yang menjadi banci atau perempuan hal itu justru menjadi bahan
tertawaan. Namun mengapa ketika seorang perempuan memerankan karakter laki-laki justru mendapatkan
hujatan? Apa yang salah dengan masyarakat saat ini?
Mungkin masyarakat
menggunakan dasar agama untuk menilai sebuah kesenian. Namun bila agama yang
menjadi landasan, mengapa film-film yang memiliki adegan mesra suami istri
tidak mereka haramkan padahal pasangan tersebut bukanlah mahrom? Bahkan ulama-ulama
turut menyaksikan dan menganjurkannya kepada masyarakat luas. Apakah Abimana
dan Acha Septriasa adalah mahrom, sehingga mereka bisa berpelukan dan
bergandengan? Lalu Fedi Nuril dan Riyanti Cartwright, apakah mereka juga
mahrom? Jika landasan yang digunakan atas dasar itu hanyalah sebuah film (baca:kesenian), mengapa
pementasan teater tersebut tidak mendapatkan keadilan yang sama?
Saya rasa
perzinahan yang berkedok film religi lebih mudah diterima oleh masyarakat kini. Mungkin lain kali kami akan
kembali, dan mengangkat isu lesbi atau homo disebuah pondok religi.
Yah, semua itu
tidak bisa lepas dari budaya patriarki dan garis keras religi. Akhirnya saya ucapkan selamat, budaya patriarki berkembang bebas
sepertihalnya neo liberalism yang selama ini orang-orang itu tentang dan demonstrasikan.
Tulisan yang SANGAT BAGUS!
BalasHapus